Jakarta, CNBC Indonesia – Emiten layanan kesehatan PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA) mengakui tren pelemahan nilai tukar rupiah menjadi keprihatinan perusahaan. Hal ini mengingat sebagian besar alat kesehatan berasal dari impor.

Direktur Utama PRDA Dewi Muliaty mengakui dirinya sudah berdiskusi dengan bidang operasional terkait potensi dampak jangka panjang dari berlanjutnya tren pelemahan rupiah.

Ia menjelaskan bahan baku dan peralatan Prodia menggunakan sistem kontrak. Karena volume barang-barang tersebut cukup besar, Dewi mengatakan pihaknya melakukan dengan sistem tersebut, alat akan diinstalasi dan perusahaan akan membayar surcharge alatnya.

Namun, jumlah itu sangat minim karena perusahaan biasanya akan melakukan sistem kontrak peralatan selama sekitar lima tahun.

“Nah, setiap kontrak yang lima tahun ini, biasanya ada range dari berapa kurs yang akan dikembangkan dalam harga rupiah, karena transaksi kan harus dalam rupiah,” jelas Dewi saat Public Expose PRDA di Prodia Tower, Kamis (18/4/2024)

Ia berharap beberapa kontrak kerjasama PRDA masih dalam rentang kurs yang sekarang ini. Dewi juga meminta pihaknya untuk mengecek apakah sudah ada kontrak yang rentang kurs-nya sudah di atas Rp16.000. Jika ada, perusahaan harus melakukan proses renegosiasi.

“Tapi sampai saat ini, para vendor yang bekerja sama dengan kami, belum ada satu pun yang mengajukan kenaikan harga,” ujarnya.

Maka demikian, Dewi menilai komitmen jangka pendek sampai kuartal II, belum akan terpengaruh oleh tren pelemahan rupiah.

Ia mengatakan Prodia berharap pelemahan rupiah tidak akan berkepanjangan, dan dapat berangsur pulih dengan dukungan pemerintah.

Untuk diketahui, Prodia mencatatkan total laba bersih sebesar Rp259,3 miliar pada tahun 2023. Jumlah itu turun 30,2% secara tahunan (yoy) dari tahun 2022 sebesar Rp371,6 miliar.

Melihat secara historis, raupan laba perusahaan turun sejak masa pemulihan Covid-19. PRDA mencatatkan peningkatan laba tertinggi sebesar Rp623,2 miliar, pada puncak pandemi tahun 2021. Laba itu mulai menurun pada tahun 2022 sebesar Rp371,6 miliar, dan kembali turun lagi setahun kemudian.

Direktur PRDA Liana Kuswandi menjelaskan bahwa perolehan laba bersih itu kembali merosot pada tahun 2023 karena adanya normalisasi dari pandemi, yakni hampir tidak terjadi kasus Covid-19. Hal ini berimbas pada pertumbuhan pendapatan yang lemah di tahun 2023.

Selain itu, terjadi kenaikan biaya operasi sebesar 14,6% yoy sepanjang tahun 2023.

Kendati demikian, Prodia melihat industri kesehatan di Indonesia memiliki prospek “sangat baik” dan memiliki peluang yang banyak tahun ini. Dewi mengatakan pengeluaran pembiayaan untuk sektor kesehatan di RI merupakan yang terendah di antara negara-negara Asia. Porsinya sekitar 3,9% pada tahun 2022.

Dewi mengatakan pelayanan BPJS akan dikembangkan yang ia nilai sangat baik untuk masyarakat Indonesia yang ingin memiliki generasi unggul. Ia juga menyebut peluang dari segmen asuransi pribadi.

[Gambas:Video CNBC]


Artikel Selanjutnya


Peringatan Sri Mulyani: Investasi Bisa Lesu Akibat Geopolitik Global


(ayh/ayh)




Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *